Kebetulan sekali imlek tahun tanggal 3-2-2011 ini adalah dimulai nya tahun kelinci emas (logam) mari kita baca tentang tekad yang lebih kuat dari logam yang tidak takut leleh oleh api.
No. 316.
SASA-JĀTAKA.
“Tujuh ekor ikan merah,” dan
seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di
Jetavana, tentang pemberian derma yang mencakup semua. Dikatakan,
seorang tuan tanah di Savatthi, menyediakan semua keperluan bagi para
Saṅgha (Sangha) yang dipimpin oleh Sang Buddha. Ia membangun sebuah
paviliun di depan rumahnya dan mengundang semua rombongan anggota
Sangha dan Sang Buddha sebagai pemimpin mereka. Ia memberikan tempat
duduk yang elegan dan menyajikan pelbagai makanan lezat dan pilihan.
Dan dengan berkata, “Datanglah kembali esok hari,” ia melayani mereka
selama satu minggu penuh, dan pada hari ketujuh ia mempersembahkan
semua keperluan kepada Sang Buddha dan kelima ratus bhikkhu yang
mengikuti-Nya. Pada akhir persembahan tersebut, sebagai ucapan terima
kasih, Beliau berkata, “Upasaka, Anda telah bertindak benar dalam
memberikan kebahagiaan dan kenyamanan batin dengan pemberian derma ini.
Karena ini juga merupakan kebiasaan dari orang bijak di masa lampau,
yang mengorbankan dirinya sendiri untuk pengemis yang mereka jumpai,
bahkan ia juga memberikan dagingnya sendiri kepadanya untuk dimakan.”
Dan atas permintaan tuan tanah itu, Beliau menceritakan sebuah kisah
masa lampau.
______________________________
Dahulu kala
ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi
seekor kelinci dan tinggal di dalam hutan. Pada salah satu sisi hutan
itu terdapat kaki gunung, pada sisi yang lain terdapat sebuah sungai,
dan pada sisi yang ketiga terdapat sebuah desa perbatasan. Kelinci itu
mempunyai tiga sahabat—seekor kera, seekor serigala dan seekor
berang-berang. Keempat makhluk bijak ini tinggal bersama dan mereka
masing-masing mencari makan di lahan mereka sendiri, dan berkumpul pada
petang hari. Kelinci, dengan kebijaksanaannya, memberi wejangan berupa
pemaparan kebenaran kepada ketiga sahabatnya, mengajari mereka untuk
memberi derma (berdana), menjalankan latihan moralitas (sila), dan
memperingati hari-hari suci. Sahabat-sahabatnya menerima wejangannya
dan masing-masing pulang kembali ke tempat tinggal mereka di sisi-sisi
hutan itu.
Pada suatu hari, Bodhisatta meninjau langit dan
memandang bulan, mengetahui bahwa keesokan harinya adalah hari
Uposatha. Kemudian ia berkata kepada para sahabatnya, “Besok adalah
hari Uposatha. Marilah kita menjalankan sila dan laku Uposatha. Ia yang
memberi derma disertai dengan menjalankan sila tentulah mendapatkan
hasil perbuatan yang amat mulia. Oleh karena itu, berikanlah makanan
kepada orang yang datang meminta kepada kalian dengan makanan dari
tempat kalian sendiri. Mereka semua menyetujuinya dan kembali ke tempat
tinggal masing-masing.
Pada keesokan paginya, berang-berang
berangkat untuk mencari makanannya di tepi Sungai Gangga. Kala itu,
seorang nelayan telah menangkap tujuh ekor ikan merah, mengikat
ikanikan itu dengan tali pada satu ranting, menguburnya di dalam tanah
di tepi sungai. Kemudian ia kembali mengarungi sungai ke bagian hilir
untuk mendapatkan lebih banyak ikan. Berang-berang yang mencium bau
ikan di dalam tanah, menggali tanah dan menemukannya. Ia menarik keluar
ikan-ikan itu dan berkata dengan keras, sebanyak tiga kali, “Siapakah
empunya ikan-ikan ini?” Karena tidak melihat siapa pun sebagai
pemiliknya, berangberang, dengan menggigit ranting tersebut, membawa
ikan-ikan itu ke hutan tempat ia tinggal dengan niat untuk memakannya
pada waktu yang tepat, kemudian ia berbaring dan memikirkan tentang
latihan moralnya.
Demikian halnya dengan serigala, ia juga
berangkat untuk mencari makanan dan menemukan dua besi pemanggang,
seekor kadal besar dan satu kendi dadih di dalam pondok seorang penjaga
ladang. Setelah tiga kali berkata dengan keras, “Siapakah yang empunya
benda-benda ini?” ia pun melingkarkan tali di lehernya untuk mengangkat
kendi, membawa kadal dan besi pemanggang dengan cara menggigitnya. Ia
membawa mereka ke sarangnya dan berpikir, “Saya akan memakan ini pada
waktu yang tepat,” kemudian berbaring, memikirkan tentang latihan
moralnya.
Demikian halnya juga dengan kera, ia pergi ke dalam
hutan belantara dan mengumpulkan buah-buah mangga, kemudian membawanya
kembali ke dalam hutan tempat ia tinggal dengan niat untuk memakannya
pada waktu yang tepat. Ia pun berbaring sambil memikirkan tentang
latihan moralnya.
Sedangkan Bodhisatta pada waktu yang sama
keluar dari tempat tinggalnya, dengan tujuan untuk mendapatkan rumput
kusa. Ketika ia berbaring di dalam hutan (tempat ia tinggal), pemikiran
ini terlintas dalam benaknya, “Tidaklah mungkin bagiku untuk menawarkan
rumput kepada orang yang datang meminta kepadaku nanti, dan saya juga
tidak mempunyai minyak (wijen) atau beras, dan sebagainya. Jika ada
orang yang datang meminta makanan kepadaku nanti, akan kuberikan
dagingku sendiri kepadanya untuk dimakan.” Dikarenakan kekuatan
kebajikannya ini, takhta marmer kuning Dewa Sakka menjadi panas. Sakka,
dengan kekuatannya memindai, menemukan penyebabnya dan berniat untuk
menguji si kelinci. Pertama-tama, ia pergi ke kediaman berang-berang,
dalam samarannya sebagai seorang brahmana (petapa). Ketika ditanya
mengapa ia berdiri di sana, ia menjawab, “Tuan yang bijak, jika saya
bisa mendapatkan sesuatu untuk makan, maka saya akan dapat menjalankan
laku Uposatha.” Berang-berang berkata, “Baiklah, saya akan memberikanmu
makanan,” dan pada saat ia berbicara dengannya, ia mengulangi bait
pertama berikut:
Tujuh ekor ikan merah yang kubawa pulang ke daratan dari Sungai Gangga,
wahai brahmana, makanlah ini sepuasnya, dan tinggallah di hutan ini.
Brahmana
itu berkata, “Tunggulah sampai besok, saya akan mengambilnya.”
Berikutnya, ia pergi ke kediaman serigala, ketika ditanya dengan
pertanyaan yang sama, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama.
Serigala juga bersedia memberikannya makanan, dan pada saat berbicara
dengannya, ia mengulangi bait kedua berikut:
Seekor kadal dan satu kendi dadih,
makan malam si penjaga,
dua besi pemanggang untuk memanggang daging yang kudapatkan ini:
Akan kuberikan kepadamu:
Wahai brahmana, makanlah ini sepuasnya,
dan tinggallah di hutan ini.
Brahmana
itu berkata, “Tunggulah sampai besok, saya akan mengambilnya.”
Kemudian, ia pergi ke kediaman kera, dan ketika ditanya dengan
pertanyaan yang sama, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama. Kera
menawarkan makanan untuknya, dan pada saat berbicara dengannya, ia
mengulangi bait ketiga berikut:
Aliran sungai yang dingin, buah mangga yang ranum,
tempat teduh yang menyenangkan di hutan,
wahai Brahmana, makanlah ini sepuasnya,
dan tinggallah di hutan ini.
Brahmana
itu berkata, “Tunggulah sampai besok, saya akan mengambilnya.” Kemudian
ia pergi ke kediaman si kelinci bijak, dan ketika ditanya mengapa ia
berdiri di sana, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama seperti
sebelumnya. Bodhisatta merasa sangat gembira mendengar apa yang ia
inginkan, dan berkata, “Brahmana, Anda telah melakukan hal yang benar
dengan datang meminta makanan kepadaku. Hari ini akan kuberikan
kepadamu persembahan yang belum pernah kuberikan sebelumnya, tetapi
Anda tidak akan melanggar sila dengan mengambil nyawa hewan. Teman,
pergilah dan sesudah Anda mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api,
datanglah kembali ke sini dan beri tahu saya, saya akan mengorbankan
diriku sendiri dengan melompat ke dalam api. Bilamana dagingku telah
terpanggang (cukup matang), makanlah sesukamu dan jalankanlah
kewajibanmu sebagai seorang petapa.” Demikian si kelinci berbicara
kepadanya dan mengucapkan bait keempat berikut:
Bukan wijen, bukan kacang-kacangan,
bukan pula beras yang kumiliki sebagai makanan untuk didermakan,
melainkan kukorbankan dagingku sendiri untuk dipanggang dalam api,
jika Anda ingin tinggal di hutan ini bersama kami.
Setelah
mendengar apa yang dikatakannya, dengan kesaktiannya, Sakka memunculkan
satu tumpukan bara api yang berkobar-kobar dan memberi tahu Bodhisatta.
Setelah bangkit dari ranjang rumput kusanya dan datang ke tempat itu,
kelinci mengibas-ngibaskan tubuhnya tiga kali agar serangga-serangga
kecil atau kutu-kutu di tubuhnya tidak mati, ikut terbakar. Kemudian
untuk mempersembahkan seluruh tubuhnya sebagai derma, ia melompat masuk
ke dalam tumpukan bara api dalam kegembiraannya, seperti seekor angsa
yang terbang turun ke tumpukan terata. Tetapi kobaran api itu tidak
mampu membakarnya, bahkan tak sehelai rambutnya pun terbakar, dan ia
seolah-olah seperti masuk ke dalam sebuah tempat yang sangat dingin.
Kemudian ia menyapa Sakka dengan kata-kata berikut: “Brahmana, api yang
Anda nyalakan ini sedingin es: api ini tidak membakar tubuhku, bahkan
tak sehelai rambutku pun terbakar. Apa arti semua ini?” “Tuan yang
bijak,” jawabnya, “saya bukanlah seorang brahmana, saya adalah Dewa
Sakka dan saya datang untuk menguji kebajikanmu.” Kemudian Bodhisatta
berkata, “Sakka, bukan hanya dirimu, jika seluruh penghuni dunia ini
mengujiku dalam hal berdana, mereka tidak akan menemukan keengganan
dalam diriku untuk memberi,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini,
Bodhisatta mengeluarkan jeritan kebahagiaan seperti auman seekor singa.
Kemudian Sakka berkata Bodhisatta, “Wahai kelinci bijak, biarlah
kebajikanmu ini dikenal selama waktu yang tak terhitung lamanya.”
Setelah meremas sebuah gunung dan mengambil sarinya, Sakka membuat
gambar seekor kelinci di bagian tengah bulan. Kemudian setelah
mengembalikan kelinci pada ranjang rumput kusa, ia pun kembali ke
kediamannya di alam dewa. Keempat makhluk bijak itu tinggal bersama
dengan bahagia dan harmonis, menjalankan sila dan memperingati
hari-hari suci, sampai akhirnya mereka terpisah untuk menuai hasil
sesuai perbuatan mereka masing-masing.
______________________________
Sang
Guru, setelah selesai menyampaikan uraian-Nya, memaklumkan kebenarannya
dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, tuan
tanah yang berdana semua keperluan itu mencapai tingkat kesucian
Sotāpanna (Sotapanna):— Pada masa itu, Ānanda adalah berang-berang,
Mogallāna adalah serigala, Sāriputta adalah kera, dan saya sendiri
adalah si kelinci bijak.”
http://www.scribd.com/doc/31485137/Jataka-Vol-3
page/halaman 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar